TEMANGGUNG

Sejarah Temanggung selalu dikaitkan dengan raja Mataram Kuno yang bernama Rakai Pikatan. Nama Pikatan sendiri dipakai untuk menyebutkan suatu wilayah yang berada pada sumber mata air di desa Mudal Kecamatan Temanggung. Disini terdapat peninggalan berupa reruntuhan batu-bebatuan kuno yang diyakini petilasan raja Rakai Pikatan. Sejarah Temanggung mulai tercatat pada Prasasti Wanua Tengah III Tahun 908 Masehi yang ditemukan penduduk dusun Dunglo Desa Gandulan Kecamatan Kaloran Temanggung pada bulan November 1983. Prasasti itu menggambarkan bahwa Temanggung semula berupa wilayah kademangan yang gemah ripah loh jinawi dimana salah satu wilayahnya yaitu Pikatan. Disini didirikan Bihara agama Hindu oleh adik raja Mataram Kuno Rahyangta I Hara, sedang rajanya adalah Rahyangta Rimdang (Raja Sanjaya) yang naik tahta pada tahun 717 M (Prasasti Mantyasih). Oleh pewaris tahta yaitu Rake Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M, Bihara Pikatan memperoleh bengkok di Sawah Sima. Jika dikaitkan dengan prasasti Gondosuli ada gambaran jelas bahwa dari Kecamatan Temanggung memanjang ke barat sampai kecamatan Bulu dan seterusnya adalah adalah wilayah yang subur dan tenteram (ditandai tempat Bihara Pikatan).
Pengganti raja Sanjaya adalah Rakai Panangkaran yang naik tahta pada tanggal 27 November 746 M dan bertahta selama kurang lebih 38 tahun. Dalam legenda Angling Dharma, keratin diperkirakan berada di daerah Kedu (Desa Bojonegoro). Di desa ini ditemukan peninggalan berupa reruntuhan. Di wilayah Kedu juga ditemukan desa Kademangan. Pengganti Rakai Panangkaran adalah Rakai Panunggalan yang naik tahta pada tanggal 1 april 784 dan berakhir pada tanggal 28 Maret 803. Rakai Panunggalan bertahta di Panaraban yang sekarang merupakan wilayah Parakan . Disini ditemukan juga kademangan dan abu jenasah di Pakurejo daerah Bulu. Selanjutnya Rakai Panunggalan digantikan oleh Rakai Warak yang diperkirakan tinggal di Tembarak. Disini ditemukan reruntuhan di sekitar Masjid Menggoro dan reruntuhan Candi dan juga terdapat Desa Kademangan. Pengganti Rakai warak adalah Rakai Garung yang bertahta pada tanggal 24 januari 828 sampai dengan 22 Pebruari 847. Raja ini ahli dalam bangunan candid an ilmu falak (perbintangan). Dia membuat pranata mangsa yang sampai sekarang masih digunakan. Karena kepandaiannya sehingga Raja Sriwijaya ingin menggunakannya untuk membuat candi. Namun Rakai Garung tidak mau walau diancam. Kemudian Rakai Garung diganti Rakai Pikatan yang bermukim di Temanggung. Disini ditemukan Prasasti Tlasri dan Wanua Tengah III. Disamping itu banyak reruntuhan benda kuno seperti Lumpang Joni dan arca-arca yang tersebar di daerah Temanggung. Disini pun terdapat desa Demangan.
Dari buku sejarah karangan I Wayan badrika disebutkan bahwa Rakai Pikatan selaku raja Mataram Kuno berkeinginan menguasai wilayah Jawa Tengah. Namun untuk merebut kekuasaan dari raja Bala Putra Dewa selaku penguasa kerajaan Syailendra tidak berani. Maka untuk mencapai maksud tersebut Rakai Pikatan membuat strategi dengan mengawini Dyah Pramudha Wardani kakak raja Bala Putra Dewa dengan tujuan untuk memiliki pengaruh kuat di kerajaan Syailendra. Selain itu Rakai Pikatan juga menghimpun kekuatan yang ada di wilayahnya baik para prajurit dan senapati serta menghimpun biaya yang berasal dari upeti para demang. Pada saat itu yang diberi kepercayaan untuk mengumpulkan upeti adalah Demang Gong yang paling luas wilayahnya. Rakai Pikatan menghimpun bala tentara dan berangkat ke kerajaan syailendra pada tanggal 27 Mei 855 Masehi untuk melakukan penyerangan. Dalam penyerangan ini Rakai Pikatan dibantu Kayu Wangi dan menyerahkan wilayah kerajaan kepada orang kepercayaan yang berpangkat demang. Dari nama demang dan wilayah kademangan kemudian muncul nama Ndemanggung yang akhirnya berubah menjadi nama Temanggung.
Catatan sejarah Temanggung berasal dari :
Prasasti Wanua Tengah III, Berkala arkeologi tahun 1994 halaman 87 bahwa Rakai Pikatan dinyatakan meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 855 M.
Prasasti Siwagrha terjemahan Casparis (1956 - 288), pada tahun 856 M Rakai Pikatan mengundurkan diri.
Prasasti Nalanda tahun 860 (Casparis 1956, 289 - 294), Balaputra dewa dikalahkan perang oleh Rakai Pikatan dan Kayu Wangi.
Prasasti Wanua Tengah III, Berkala Aekeologi Tahun 1994 halaman 89, Rakai Kayu Wangi naik tahta tanggal 27 Mei 855 M.
Dalam buku karangan I Wayan Badrika halaman 154, Pramudya Wardani kawin dengan Rakai Pikatan dan naik tahta tahun 856 M. Balaputra Dewa dikalahkan oleh Pramudha wardani dibantu Rakai Pikatan (Prasasti Ratu Boko) tahun 856 M.

Catatan diatas dapat disimpulkan bahwa Rakai Pikatan mengangkat putranya Kayu Wangi. Selanjutnya mengundurkan diri dan meninggalkan Mataram untuk kawin dengan Pramudha Wardani. Dalam peperangan melawan Balaputra Dewa, Rakai Pikatan dibantu putranya Kayu Wangi.
Riwayat Singkat Hari Jadi Kabupaten Temanggung
Berdasarkan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda, Nomor 11 Tanggal 7 April 1826, Raden Ngabehi Djojonegoro ditetapkan sebagai Bupati Menoreh yang berkedudukan di Parakan, dengan gelar Raden Tumenggung Aria Djojonegoro. Setelah perang Diponegoro berakhir, beliau kemudian memindahkan Ibu Kota ke Kabupaten Temanggung. Kebijaksanaan pemindahan ini didasarkan pada beberapa hal; Pertama, adanya pandangan masyarakat Jawa kebanyakan pada sat itu, bahwa Ibu Kota yang pernah diserang dan diduduki musuh dianggap telah ternoda dan perlu ditinggalkan. Kedua, Distrik Menoreh sebuah daerah sebagai asal nama Kabupaten Menoreh, sudah sejak lama digabung dengan Kabupaten Magelang, sehingga nama Kabupaten Menoreh sudah tidak tepat lagi. Mengingat hal tersebut, atas dasar usulan Raden Tumenggung Aria Djojonegoro, lewat esiden Kedu kepada Pemerintah Hindia Belanda di Batavia, maka disetujui dan ditetapkan bahwa nama Kabupaten Menoreh berubah menjadi Kabupaten Temanggung. Persetujuan ini berbentuk Resolusi Pemerintah Hindia Belanda Nomor 4 Tanggal 10 Nopember 1834.
Mempertimbangkan bahwa Hari Jadi Daerah merupakan awal perjalanan sejarah, agar diketahui semua lapisan masyarakat, guna memacu meningkatkan semangat pembangunan dan pengembangan daerah, maka Pemerintah Kabupaten Dati II Temanggung menugaskan kepada DPD II KNPI Kabupaten Temanggung untuk mengadakan pelacakan sejarah dan seminar tentang Hari Jadi Kabupaten Temanggung. Dari hasil seminar tanggal 21 Oktober 1985, yang diikuti oleh Sejarawan, Budayawan dan Tokoh Masyarakat, ABRI, Rokhaniwan, Dinas/Instansi/Lembaga Masyarakat dan lain-lainnya, maka ditetapkan bahwa tanggal 10 Nopember 1834 sebagai Hari Jadi Kabupaten Temanggung.
Sumber temanggung kab go id.

Sejarah Temanggung Kabupaten
Dengan meninggalnya Raden Tumenggung Danuningrat Bupati Magelang, maka untuk mengatasi kevakuman pemerintahan, Pemerintah Hindia Belanda dengan cepat berusaha mencari penggantinya. Mendiang Bupati Magelang meninggalkan seorang putra yang bernama Raden Mas Aryo Danukusumo. Ia telah berdinas pada Pemerintah Hindia Belanda sebagai Wakil Kolektur Penghasilan Negeri dan telah menikah dengan putri Bupati Pekalongan. Raden Mas Aryo Danukusumo mempunyai dua orang anak. Ia dikenal sebagai pribumi yang sangat berbudi bahasa dan betapapun masih muda usianya, namun telah banyak mengambil alih kecakapan-kecakapan dari orang tuanya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan antara lain kecakapan yang dimilikinya, akhirnya Raden Mas Aryo Danukusumo ditunjuk menjadi Bupati sementara daerah Magelang.
Sedangkan untuk daerah Kabupaten Menoreh, Pemerintah Hindia Belanda menunjuk Raden Ngabei Joyo Negoro sebagai Bupati sementara Menoreh. Pada tahun 1827 Raden Mas Aryo telah resmi menjadi Bupati tetap di daerah Magelang sedangkan Raden Ngabei Joyo Negoro telah menjadi Bupati di daerah Menoreh. Meskipun demikian pejabat I masih berkedudukan di Magelang. Setelah pemberontakan Pangeran Diponegoro berakhir, Raden Ngabei Joyo Negoro tidak mau lagi berkedudukan di Parakan. Sebagai kedudukan yang baru, Bupati Menoreh telah memilih Temanggung.
Sementara itu distrik Menoreh sebenarnya sudah tidak merupakan Kabupaten Menoreh lagi, oleh karena itu telah lama digabungkan dengan wilayah Kabupaten Magelang. Dengan demikian nama Kabupaten Menoreh sebenarnya sudah tidak tepat lagi dengan memperhatikan bahwa ibukota Kabupaten Menoreh berada di Temanggung, tempat Bupati bertempat tinggal. Dalam suratnya tanggal 13 September 1834 Residen Kedu CC. Kartnan mengusulkan untuk mengganti nama Kabupaten Menoreh menjadi Kabupaten Temanggung. Pemerintah Hindia Belanda sendiri dengan sebuah resolusi yang dikeluarkan di Batavia ( Jakarta ) pada tanggal 10 Nopember 1834 akhirnya juga memberikan persetujuan yang sama : “Menetapkan bahwa Kabupaten Menoreh ( Karisidenan Kedu ) semenjak sekarang akan memakai nama dari nama ibukotanya sendiri yakni Temanggung, bahwa asisten residen Probolinggo dengan pegawai yang diperbantukan kepadanya akan dipindahkan kesana dan pada waktu yang tepat semenjak sekarang akan memakai nama asisten residen Temanggung.” Berdasarkan sumber sejarah yang autentik tersebut dapat ditentukan “Titi Mangsa” hari jadi Kabupaten Temanggung, yakni jatuh pada tanggal 10 Nopember 1834 bertepatan pada hari Senin Wage tanggal 9 Rejeb tahun Jumakir 1762.
INFO depdagri
Benda Purbakala dan Peninggalan Serta Nilai Historis Temanggung
A. Candi Pringapus
Candi Pringapus adalah candi di desa Pringapus, Ngadirejo, Temanggung 22 Km arah barat laut ibu kota kabupaten Temanggung. Arca-arca berartistik Hindu yang erat kaitanya dengan Dewa Siwa menandakan bahwa Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Candi tersebut dibangun pada tahun tahun 772 C atau 850 Masehi menurut prasasti yang ditemukan di sekitar candi ketika diadakan restorasi pada tahun 1932. Candi ini merupakan Replika Mahameru, nama sebuah gunung tempat tinggal para dewata. Hal ini terbukti dengan adanya adanya hiasan Antefiq dan Relief Hapsara-hapsari yang menggambarkan makhluk setengah dewa. Candi Pringapus bersifat Hindu Sekte Siwaistis. Hal ini terlihat dari adanya arca-arca bersifat Hindu yang erat kaitannya dengan Dewa Siwa. Sebagaimana lazimnya candi-candi Hindu yang memanifestasikan Siwa, posisi candi dan letak arca-arcanya selalu menjadi ciri khas yang memperhatikan penjuru mata angin. Pintu utama candi menghadap ke timur, dan dikanan-kirinya dijaga Kala dan Nandi. Kala adalah anak Siwa yang lahir dari persatuan antara Siwa dengan kekuatan alam yang dahsyat. Kala lahir sebagai raksasa sakti yang dapat mengalahkan semua dewa. Sedangkan Nandi adalah lembu putih kendaraan Siwa, sehingga dalam satu perwujudannya Siwa disebut Nandi Cwara.
Pada bagian lain terdapat Durga Mahesasuramardhini. Durga merupakan salah satu perwujudan Uma sebagai dewi cantik dengan berbagai macam senjata anugerah dewa. Sebagai Durga, Uma menurut legenda berhasil mengalahkan raksasa sakti berwujud kerbau yang mengganggu para Brahmana. Di dalam candi juga terdapat Yoni yaitu salah satu perwujudan Uma (Istri Siwa) yang berfungsi sebagai alas arca Siwa atau perwujudannya (biasanya Lingga) persatuan lingga dan Yoni merupakan simbol penciptaan alam semesta sekaligus simbol kesuburan. Sebagai saksi kebesaran sejarah masa silam, hal lain yang menarik dari Candi Pringapus adalah hiasa Kala berdagu seperti Kala type Jawa Timur.
Candi Pringapus relief masih utuh, Karakteristiknya yang unik membuat banyak wisatawan asing berdatangan, terutama dari Belanda, Belgia dan Amerika Serikat.Saat liburan.Wisata candi ini ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah termasuk anak-anak sekolah yang ingin mempelajari sejarah. Candi Pringapus pertama kali disebut Junghun dalam daftar reruntuhan candi-candi Jawa, yang didasarkan pada gambar Hoepermans. Setelah itu, gambar diperbarui oleh Brandes, Van Erp (1909) dan Knebel (1911). Situs candi ini juga terkait dengan Candi Perot yang ada di dekatnya (sekitar 300 meter), yang runtuh akibat badai besar tahun 1907 (kini hanya terlihat pondasi saja).
Menurut seorang arkeolog, Djulianto Susanto (Menentukan Pertanggalan Candi; 2003), sampai kini belum ada kesimpulan yang pasti mengenai kapan suatu candi mulai dibangun atau didirikan. Dari berbagai data arkeologi, tidak satu pun yang menyiratkan informasi secara akurat.Arkeolog Belanda EB Vogler pernah melakukan penelitian terhadap hiasan kala makara diatas pintu candi. Hasil dipetakan menjadi lima periode pertanggalan yaitu :

1. Periode I, yaitu masa sebelum tahun 650. Ia memperkirakan, ketika itu sudah ada bangunan ang terbuat dari bahan-bahan yang mudah rusak dan lapuk sehingga tanda-tanda arsitekturalnya tidak tersisa lagi.
2. Periode II (650-760), yang terjadi pada masa pemerintahan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram Hindu. Gaya bangunan dipengaruhi oleh arsitektur Pallawa yang berasal dari India Selatan. Bangunan-bangunan candi dari periode ini pun sudah rusak, dan tidak mudah teridentifikasi.
3. Periode III (760-812), pada masa Dinasti Syailendra. Contoh bangunannya adalah Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan dan sari.
4. Periode IV (8120-928), Pengaruh asing terutama gaya Chandiman (India) mulai memperkaya unsure-unsur candi. Contohnya antara lain Prambanan, sariwanm Plaosan dan Ngawen.
5. Periode V, yang berlangsung tahun 928 hingga akhir masa Hindu-Jawa. Bangunannya merupakan perkembangan dari gaya-gaya sebelumnya. Bangunan dari periode ini mulai diperkaya dengan unsur-unsur kesenian Jawa Timur, terutama bentuk kala. Contoh bangunannya antara lain Candi Pringapus, Sembodro, Ratna dan Srikandi.

B. Prasasti Gondosuli
Prasasti Gondosuli terletak di Desa Gondosili Kecamatan Bulu, sekitar 13 km arah barat etm, dengan memiliki Luas keseluruhan situs ini sekitar 4.992 m2. Pada tahun 832, sesuai dengan candrasengkala yang ada, Prasasti Gondosuli menjadi saksi bisu kejayaan Dinasti Sanjaya, terutama di masa pemerintahan Rakai Patahan (Rakaryan Patapan Pu Palar) sebagai raja di Mataram Hindu (Mataram Kuno). Nama Rakai Patapan juga dapat dijumpai dalam Prasasti Karang Tengah yaitu ditulis pada tahun 824.
Berdasarkan penelitian Prasasti Gondosuli memuat 11 baris tulisan. Tulisan tersebut menggunakan huruf Jawa Kuno, tapi menggunakan bahasa Melayu Kuno.Bahkan bentuk tulisannya mirip prasasti-prasasti di daerah Sriwijaya Andalas (Sumatera). Prasasti Gondosuli ditulis/dipahat pada batu besar dengan panjang 290 cm, lebar 110 cm dan tinggi 100 cm, sedangkan bidang yang ditulis brukuran 103 x 54 cm2. Dalam prasasti tersebut, pada baris pertama terdapat tulisan “Nama Syiwa Om Mahayana, sahin mendagar wa’zt tanta pawerus darma” yang berarti "Bakti kepada Desa Siwa, Om Mahayana (Orang Besar). Di semua batas hutan pertapaan, tua dan muda, laki-laki dan perempuan, mendengarkan hasil pekerjaan/ perbuatan yang baik".Prasasti tersebut berisi penghibahan tanah, dimana tanah itu digunakan untuk bangunan suci/candi, serta untuk memperingati pembangunan patung raja (Hyang Haji) disebuah preseda yang disebut Sang Hyang Wintang.
Selain ditemukan prasasti ada pula reruntuhan bebatuan candi yang berserakan disekitarnya. Batu yang berserakan itu diperkirakan hanya bagian atas candi, sedangkan sebagian besar bangunan candi terpendam dalam tanah.Pernah ada upaya dari pihak terkait, yaitu Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah, untuk melakukan penggalian.Tapi upaya ini dihentikan karena tanah diatas bangunan candi yang terpendam digunakan untuk pemakaman umum dan juga terdapat makam seorang tokoh agama, Kiai Rofi’I, yang dikeramatkan oleh penduduk setempat.
Tidak seperti candi-candi yang lain, candi Gondosuli hingga kini masih berada dibawah timbunan tanah. Memang ada beberapa bagian batu candi yang sudah ditemukan lewah penggalian, namun menurut banyak ahli, Candi Gondosuli berukuran sangat besar sehingga kalau digali dapat menenggelamkan seluruh kawasan desa. Diperkirakan Candi Gondosuli adalah bekas istana sebuah kerajaan. Rajanya bernama Rahayan Patapan yang memeluk agama Hindu. Kendati sebagian besar dari batu-baruan candi masih tertutup tanah, akan tetapi di antara batu-batuan yang sudah ditemukan terdapat beberapa yang memiliki keistimewaan.

Misalnya, ada sebuah Yoni berbentuk batu segi empat dengan lubang ditengah-tengahnya. Di dalam lubang Yoni tersbeut terdapat air yang menurut masyarakat setempat tidak pernah kering, sekalipun di musim kemarau. Yoni berlubang tersebut hingga saat ini masih dianggap memiliki kekuatan magis. Di samping Yoni, terdapat juga sebuah batu berbentuk setengah lingkaran. Menurut ceritera, pada jaman dahulu batu setengah lingkaran itu sering di gunakan Raja Dang Karayang Pupalar untuk bertapa jika kerajaannya menghadapi ancaman.
Prasasti Gandasuli merupakan prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuna ketika dikuasai oleh Wangsa Syailendra. Prasasti ini ditemukan di reruntuhan Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah. Yang mengeluarkan adalah anak raja (pangeran) bernama Rakai Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.
Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuna dengan aksara Kawi (Jawa Kuna), berangka tahun 792M. Teks prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi tentang filsafat dan ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.
C. Situs Liyangan
Situs Liyangan ditemukan pada tahun 2008 yang berupa candi ukuran kecil dan hingga kini di kawasan penambangan pasir di lereng Gunung Sindoro itu masih ditemukan benda-benda bersejarah lain.Situs Liyangan berada di atas permukiman warga Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, berjarak sekitar 20 kilometer arah barat laut dari kota Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Untuk mengungkap keberadaan situs tersebut pada 14-20 April 2009 tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta melakukan penelitian terhadap benda-benda temuan yang terkubur pasir dengan kedalaman sekitar tujuh hingga 10 meter tersebut. Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga, Kabupaten Temanggung, Subekti Prijono, menyatakan, berdasarkan hasil penelitian tim Balai Arkeologi Yogyakarta, diperkirakan situs tersebut merupakan sebuah permukiman pada zaman Mataram Kuno.
Situs ini mempunyai keunikan yaitu memiliki yoni dengan 3 lingga (lingga yoni model poliandri). Keunikan ini jarang ditemui di Indonesia. Situs liyangannya sendiri berada di kedalaman 2 meteran dibawah tanah, kemungkinan di temukan penampang pasir yang hendak mengambil batu..Diperkirakan situs tersebut sebuah perdusunan karena di antara benda temuan terdapat sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu. Subekti menyebutkan, di kawasan dengan ketinggian sekitar 1.400 di atas permukaan air laut tersebut pertama kali ditemukan sebuah talud, yoni, arca, dan batu-batu candi. Penemuan selanjutnya berupa sebuah bangunan candi yang tinggal bagian kaki dan di atasnya terdapat sebuah yoni yang unik, tidak seperti umumnya, karena yoni ini memiliki tiga lubang.

Temuan terakhir yang cukup spektakuler pada akhir Maret 2010 berupa rumah panggung dari kayu yang hangus terbakar dan masih tampak berdiri tegak. Satu unit rumah tersebut berdiri di atas talud dari batu putih setinggi 2,5 meter. Selain itu juga ditemukan satu unit rumah kayu lain yang saat ini baru tampak pada bagian atapnya.
Ia menjelaskan, tim Balai Arkeologi memperkirakan kedua unit rumah itu merupakan bangunan rumah masa Mataram Kuno. Hal ini berdasarkan pada lokasi yang dekat dengan temuan candi Hindu yang berada di sebelah barat pada jarak sekitar 50 meter. Ditemukannya profil klasik Jawa Tengah pada kaki candi diperkirakan candi ini berasal dari abad sembilan Masehi. Diperkirakan bangunan rumah tersebut berada dalam satu kompleks dengan candi dan kemungkinan merupakan satu zaman.
Secara umum, potensi data arkeologi situs Liyangan tergolong tinggi berdasarkan indikasi, antara lain luas situs dan keragaman data berupa bangunan talud, candi, bekas rumah kayu dan bambu, strutur bangunan batu, lampu dari bahan tanah liat, dan tembikar berbagai bentuk. Selain itu, juga diperoleh informasi berupa struktur bangunan batu, temuan tulang dan gigi hewan, dan padi.
Berdasar gambaran hasil survei penjajakan Balai Arkeologi menyimpulkan, Situs Liyangan merupakan situs dengan karakter kompleks. Indikasi sebagai situs permukiman, situs ritual, dan situs "pertanian". Kompleksitas karakter tersebut membawa pada pemikiran, situs Liyangan adalah bekas perdusunan yang pernah berkembang pada masa Mataram Kuno.Ragam data dan karakter ini tergolong istimewa mengingat temuan ini satu-satunya situs yang mengandung data arkeologi berupa sisa rumah masa Mataram Kuno.
Batasan imajiner situs Liyangan berdasarkan survei diperkirakan tidak kurang dari dua hektar. Di area tersebut tersebar data arkeologi yang menunjukkan sebagai situs perdusunan masa Mataram Kuno.Mengingat sebagian situs terkubur lahar, sangat mungkin luasan situs lebih dari hasil survei.
Hasil penelitian tim Balai Arkeologi menyimpulkan, data arkeologi berupa sisa-sisa rumah berbahan kayu dan bambu merupakan situs perdusunan masa Mataram Kuno sekitar 1.000 tahun lalu. Data tersebut merupakan satu-satunya yang pernah ditemukan di Indonesia sehingga memiliki arti sangat penting bukan hanya bagi pengembangan kebudayaan di Indonesia, tetapi juga dalam skala internasional.Untuk itu perlu dilakukan upaya penyelamatan guna penelitian dunia ilmiah.
Bekti Prijono juga menambahkan, situs tersebut berada di lahan milik penduduk dan dimanfaatkan untuk diambil pasirnya, dikhawatirkan situs akan rusak jika tidak dilakukan upaya penyelamatan. Atas kondisi ini, Subekti mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya tanah itu masih milik warga. Aktivitas penggalian itu dikhawatirkan dapat merusak situs purbakala yang ada. Untuk membebaskan tanah pemerintah setempat perlu dana dan baru akan dibicarakan dengan DPRD untuk diusulkan dalam APBD.
D. Petilasan Jumprit
Jumprit adalah sebuah sumber mata air di Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Tempat ini dikaitkan dengan sang Nujum dari Majapahit yang disebutkan dalam Serat Chenthini. Dari sang Nujum inilah Jumprit mendapatkan namanya. Jumprit juga merupakan tempat pengambilan air suci untuk upacara Waisak yang diadakan di Borobudur. Setiap tahun, para pemeluk agama Buddha dari berbagai tempat dan negara datang ke Jumprit untuk mengambil air suci. Tempat ini menjadi ramai tiap menjelang bulan purnama di bulan Mei.
Kawasan ini berada di ketinggian 2.100 meter dari permukaan laut (dpl) dan berada di lereng Gunung Sindoro tempatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo. Jaraknya hanya sekitar 26 km dari barat laut kota Temanggung. Dahulu keberadaan Umbul Jumprit hanya diketahui oleh kalangan tertentu saja. Tetapi sejak awal 1980, jumlah pengunjung terus meningkat, terutama mereka yang ingin berziarah ke makam Ki Jumprit dan mandi kungkum di Umbul Jumprit.
Ki Jumprit yang merupakan ahli nujum di Kerajaan Majapahit. Ki Jumprit bukan hanya dikenal sakti mandraguna, tetapi juga salah seorang putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit. Alkisah ia meninggalkan kerajaan, agar bisa mengamalkan ilmu dan kesaktiannya kepada masyarakat luas. Perjalanan panjangnya berakhir di Desa Tegalrejo, Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung. Sebagai ahli nujum, Ki Jumprit pernah meramal suatu saat nanti Temanggung akan menjadi daerah makmur dan sebagian ramalannya tersebut terbukti. Banyak petani di lereng Sumbing dan Sindoro relative hidup berkecukupan melalui tanaman tembakau.
Beberapa tokoh masyarakat meyakini, Ki Jumprit adalah leluhur dari masyarakat Temanggung yang tersebar di lereng Gunung Sindoro dan Sumbing. Namun hal ini masih memerlukan kajian mendalam, terutama dari aspek kesejarahan. Ada beberapa lokasi yang diyakini sebagai petilasan KI Jumprit begitu juga letak makamnya yang berada tak jauh dari Umbul Jumprit. Dua lokasi inilah yang kerap dikunjungi peziarah, terutama komunitas tertentu yang terbiasa melakukan tirakat.
Umbul Jumprit, mata air yang disucikan. Air umbul (sendang, mata air) adalah air keberkahan yang diambil para biksu dengan ritual khusus untuk digunakan dalam upacara Trisuci Waisak di Candi Borobudur. Umbul yang tak pernah kering ini juga "mengisi" Sungai Progo. Upacara pengambilan air di mata air yang diyakini sebagai tempat pertapaan Pangeran Singobarong dari Kerajaan Majapahit itu dimulai oleh kelompok biksu dari aliran Theravada.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TEMANGGUNG "

Posting Komentar